Pegiat literasi dan pekerja penerbitan. Menulis buku-buku referensi pendidikan untuk Penerbit Erlangga sejak 2013.
Pesan Jenderal Nagabonar untuk Tentara Hari ini
Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB
Nagabonar, tokoh rekaan Asrul Sani, punya pesan kuat bagi militer hari ini. Jenderal abal-abal itu adalah pribadi penuh inspirasi dan menarik untuk digali.
Nagabonar, anak Lubuk Pakam itu, mungkin pencopet yang lihai. Tengok saja kecepatan tangannya. Sekali sabet, jam tangan Kempetai dan Mayor Sloot, Komandan NICA, berpindah tangan. Satu arloji ia simpan. Satu lagi, ia berikan kepada Si Bujang, sahabatnya yang setia. Karena ulahnya mencopet pula, Nagabonar dibui oleh Tentara Jepang. Nasibnya mujur. Ia bersama Bujang dilepas saat Jepang kalah oleh Sekutu.
Tak lama, Si Pencopet itu pun menjadi komandan serdadu melawan kedatangan kembali Belanda. Si pencopet yang kusam itu mendadak gagah. Seragam tempur dengan topi komandan dengan bulu burung merak menyembul. Lalu, dari mana pula datangnya pangkat ‘Jenderal’ itu? Nagabonar masih berbaik hati. Tadinya, Si Lukman, stafnya terpintar karena pernah bersekolah di HBS, mengusulkan pangkat ‘Marsekal Medan’ macam Marsekal Rommel dan Montgomery. Strategi pemberian pangkat itu untuk menggertak pihak NICA saat perundingan. Nagabonar menolak. “Apa tak ada pangkat yang lain?” tanya Nagabonar. “Ada. Jenderal,” ujar Lukman. “Nah, itu dia!” Nagabonar sepakat. Jadilah dia Jenderal Nagabonar. Semudah itu. Pangkat itu juga akal-akalan Lukman agar mendapat izin berdagang besar dari Nagabonar.
Persoalan pangkat ini kemudian menimbulkan cemburu di antara serdadu Nagabonar. Lukman yang mengatur pangkat hanya menempatkan Bujang, asisten pribadi Nagabonar, sebagai kopral. Si Bujang tersinggung karena lebih pantas menjadi ‘Wakil Jenderal’. Usulan yang kemudian ditertawakan.
Nagabonar dan prajuritnya adalah gambaran sejarah ketentaraan Republik yang masih muda. Ketika belum ada aturan ketat tentang jenjang kepangkatan di tubuh angkatan bersenjata. Semua, termasuk Nagabonar dan serdadunya, seolah bebas memilih pangkat. Maryam, salah satu rival Nagabonar yang juga berprofesi copet, juga memilih pangkat jenderal. “Kau punya bintang, aku juga punya,” pamer Maryam kepada Nagabonar. Siapa saja bisa menjadi serdadu hari itu. Tukang kopi, guru, tukang becak, hingga, tadi itu, pencopet.
Suatu ketika, disiplin tentara ditegakkan. Mayor Pohan, senior yang disegani oleh Nagabonar, datang memberi kabar itu ke markas Si Mantan Pencopet itu. Bagi Nagabonar, perintah itu bukan masalah besar. Bintang di pundak yang diraihnya, semudah itu pula hilang. Tak ada soal. Pengaturan pangkat dimulai sejak TNI masih bernama TKR (Tentara Keamanan Rakyat). Surat Perintah Kepala Markas Tertinggi TKR (MTTKR) tanggal 5 November 1945 yang ditandatangani oleh Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo sebagai Kepala Staf Markas Besar Umum, mengeluarkan maklumat yang mengatur dan menginstruksikan tentang seragam dan tanda-tanda Tentara Keamanan Rakyat. Karena suasana saat itu masih sangat kekurangan, MTTKR memerintahkan para komandan di Jawa dan Madura untuk memperlengkapi sendiri seragam-seragam untuk para prajurit. Dalam maklumat tersebut diperintahkan bahwa warna seragam tidak diharuskan sama, tetapi tanda pangkat kemiliteran diharuskan sama di seluruh barisan TKR.
Nagabonar juga dikenal tegas menegakkan aturan. Serdadunya yang nakal hanya karena mencuri ayam warga dihukum keras. Ketika Lukman, serdadu terpintarnya yang mantan HBS, menghamili gadis kampung, Si Jenderal pun geram. Ia menurunkan pangkat Lukman ketika itu. Dari Mayor ke Sersan Mayor. “Sampai hatilah, Abang, mestinya dari Mayor turun ke Kapten,” protes Lukman yang baru saja siuman setelah dihukum. Nagabonar yang lugu mengaku keputusan itu diambil karena sama-sama ada kata Mayor dalam pangkat itu.
Sejatinya, Nagabonar adalah tipikal serdadu. Ia menolak berunding dengan militer Belanda. Ketika terpaksa menghadiri perundingan, Nagabonar pun berulah. Ia menunjuk sembarang tempat saat membuat kesepakatan garis demarkasi. “Berunding, berunding, tapi NICA masuk juga,” ujar Nagabonar geram. Alsannya, ia tak percaya dengan Belanda.
Singkat cerita, Nagabonar berhasil mengalahkan penjajah. Tak hanya mengusir Belanda dari tanah kelahirannya, Nagabonar pun mendapatkan seorang istri, Kirana, yang bersamanya bahu-membahu berperang. Namun, Nagabonar harus kehilangan sahabatnya, Si Bujang.
Meski dikenal garang, tegas, dan pemberani, Nagabonar digambarkan sebagai sosok yang jenaka. Prajuritnya bisa lari terbirit-birit mendengar perintahnya, sekaligus terpingkal-pingkal melihat tingkah kocaknya. Ia juga dikenal takut setengah mati dengan Emaknya, sekaligus bukti rasa cinta dan hormatnya. Nagabonar rela mengevakuasi dengan menggendong Emak dari gubuknya hingga markas persembunyiannya.
Banyak yang menganggap Nagabonar adalah tokoh imajiner semata. Sosok ini lahir dari Asrul Sani, seniman besar negeri ini, sekaligus penulis naskah film terbaik Piala Citra 1987 ini. Tak usah kita berdebat soal kualitas akting Deddy Mizwar atau musik Franky Raden. Film Nagabonar adalah salah satu karya terbaik sinema Indonesia. Banyak sumber menyebut, bahwa sosok Nagabonar diilhami dari Payung Bangun, Komandan Laskar Harimau Liar [baca #Kelaselasa yang ditulis wartawan Tempo Bagja Hidayat]. Sosok Nagabonar mungkin mirip Minke dalam trilogi Bumi Manusia-nya Pramoedya Ananta Toer yang diilhami tokoh Pers Nasional Tirto Adhi Suryo.
Sosok Nagabonar tetap aktual dibicarakan hingga hari ini. Terutama menyambut Hari Ulang Tahun Tentara Nasional Indonesia setiap 5 Oktober. Apalagi, TNI memasuki usia yang kian matang. Usia yang sama dengan lahirnya Republik ini. Fakta yang tak terbantahkan bahwa peran angkatan bersenjata begitu vital dalam mempertahankan republik.
Nagabonar menyindir keras soal pangkat. Baginya, menjadi jenderal, mayor, kolonel, dan lain sebagainya, hanya soal sekejap. Pangkat bisa naik-turun seenaknya, tanpa surat keputusan. Sesuatu yang tidak mungkin terjadi dalam militer modern hari ini. Kepangkatan mungkin tak hanya soal hierarki dan kompetensi. Kepangkatan kadang berhubungan dengan intrik dan akses. Di sinilah bodohnya Nagabonar. Ia bahkan tak sanggup mengangkat Si Bujang, loyalis dan sahabat terdekatnya, untuk meraih pangkat mentereng. Sikap ini yang membuat Bujang kesal hingga mencuri seragam Nagabonar untuk berperang.
Nagabonar, dalam sekuel filmnya, meninggalkan kesan yang mendalam. Si Pahlawan Perang mencari Patung Jenderal Sudirman –Panglima Besar. Saat menemukannya, di hadapan Jenderal Besar, ia protes dengan pose patung Sudirman yang memberi hormat. “Turunkan tanganmu, Jenderal!” ujar Nagabonar. Menurut Nagabonar, tak sepantasnya Sudirman berpose seperti itu. Orang-orang berkendara yang tiap hari lalu-lalang dan melintasi patung itulah yang harus balik menghormatinya. Di antara pelintas, tentunya rombongan VIP petinggi militer.
Bagi Nagabonar, heroisme itu bukan soal pangkat, seragam, dan perang. Semua itu sudah berlalu. Nagabonar bahkan tak melanjutkan karier militer selepas perang. Sempat ia berpikir menjadi polisi, tapi ia menimbang lagi keputusan itu. “Masa pencopet menjadi polisi,” ujar Nagabonar. Ia pun memilih berdagang dan tidak lagi mencopet.
Sejarah TNI juga tak selamanya soal kemenangan. Ada pula sisi kelam yang tercatat dalam linimasa perjalanan TNI. Nagabonar adalah pahlawan perang. Ia mungkin bekas pencopet. Nagabonar pun pernah melanggar janji belajar mengaji kepada Emaknya. Tapi apa yang menarik dari Nagabonar dan usia TNI ke-71? Keduanya punya rasa cinta yang sama pada tanah air. Semoga rasa cinta itu diterjemahkan dengan perilaku yang juga disambut simpati oleh rakyatnya, seperti Nagabonar, penuh cinta kasih mesti tampak sangar.***

Penulis Indonesiana
0 Pengikut

Ifan, Gufran, dan Masa Depan Film Kita
Sabtu, 15 Maret 2025 07:46 WIB
Multisemesta Bernama Indonesia
Selasa, 21 Mei 2019 21:24 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler